TUGAS 4 ETIKA PROFESI AKUNTANSI
1. Jelaskan tahap pengembangan moral lawrence Kohlberg!
Tahap perkembangan moral Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi
rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti
yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran
moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan
yang dapat teridentifikasi.
Tahapan-tahapan
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg
dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan;
setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih
komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada
pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam
tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai
moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat
pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan
murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai
contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya
dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.Sebagai
tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang
dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku
yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap
dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap
bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti
“kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua
perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang
berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat
pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua
tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari
tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara
moral.
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau
orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional
terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki
peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari
orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat
terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran
sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang
lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…'.
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum,
keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari
masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar
dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban
atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum,
maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan
dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat
berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan
bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini
menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan
pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai
memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting
bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak
dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan
atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut -
'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan
itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku.
Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila
perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal
tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran
abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar
pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk
tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial
dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara
kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa
dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi
orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat
veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil
konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu
menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau
Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun
ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
2. Apa yang menentukan tingkatan intensitas masalah etika!
Ada 4 tingkatan intensitas mengenai etika, yaitu :
a. Etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran
tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara
lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman
masa lalu.
b. Etika profesi yaitu serangkaian norma atau aturan yang
menuntun perilaku kalangan profesi tertentu.
c. Etika organisasi yaitu serangkaian aturan dan norma yang
bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota
organisasi yang bersangkutan.
d. Etika sosial yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan
tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat
selalu terjaga atau terpelihara.
3. Jelaskan jenis-jenis penyimpangan ditempat kerja!
Penyimpangan di tempat kerja adalah perilaku tidak etis yang
melanggar norma-norma organisasi mengenai benar atau salah. Terdapat 4 jenis
penyimpangan di tempat kerja, antara lain:
a. Penyimpangan produksi
Perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil
produksi. Misalnya: pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja bekerja
lamban, sengaja membuang-buang sumber daya.
b. Penyimpangan hak milik.
Perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan.
Misalnya: menyabot, mencuri atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang
lebih tinggi dan mengambil kelebihannya,
menipu jumlah jam kerja, mencuri dari perusahaan lain.
c. Penyimpangan politik
Yaitu menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan orang
lain dalam perusahaan. Misalnya: mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih
dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, menuduh orang
lain atas kesalahan yang tidak dibuat.
d. Penyerangan pribadi
Merupakan sikap bermusuhan atau perilaku menyerang terhadap
orang lain. Seperti: pelecehan seksual, perkataan kasar, mencuri dari rekan
kerja, mengancam rekan kerja secara pribadi.
Sumber :
0 komentar: