TUGAS 3 ETIKA PROFESI AKUNTANSI

1. Apa yang dimaksud dengan Whistle Blowing? Jelaskan!

    Dalam dunia bisnis kecurangan merupakan hal biasa, tetapi hal ini sangat merugikan perusahaan dan karyawan lain tentunya. Kecurangan seperti ini harus dicegah agar kerugian moral dan materil dapat dihindari. Cara pencegahannya dapt dilakukan dengan whistle blowing. Whistle blowing adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilapori itu bisa saja atasan yang lebih tinggi atau masyarakat luas.
Ada dua macam whistle blowing :

a. Whistle blowing internal

    Hal ini terjadi ketika seorang atau beberapa orang karyawan tahu mengenai kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya kemudian melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi. Motivasi utama dari whistle blowing adalah motivasi moral: demi mencegah kerugian bagi perusahaan tersebut
Motivasi moral ada dua macam motivasi moral baik dan motivasi moral buruk. Untuk mencegah kekeliruan ini dan demi mengamankan posisi moralnya, karyawan pelapor perlu melakukan beberapa langkah:

     Cari peluang kemungkiann dan cara yang paling cocok tanpa menyinggung perasaan untuk menegur sesama karyawan atau atasan itu. Karyawan itu perlu mencari dan mengumpulkan data sebanyak mungkin sebagai pegangan konkret untuk menguatkan posisinya, kalau perlu disertai dengan saksi-saksi kuat.

b. Whistle blowing eksternal

    Menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannnya lalu membocorkannya kepada masyarakat karena dia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat. Misalnya; manipulasi kadar bahan mentah dalam formula sebuah produk.

    Motivasi utamanya adalah mencegah kerugian bagi masyarakat atau konsumen. Pekerja ini punya motivasi moral untuk membela kepentingan konsumen karena dia sadar semua konsumen adalah manusia yang sama dengan dirinya dan karena itu tidak boleh dirugikan hanya demi memperoleh keuntungan.


2. Sebutkan alasan mengapa terjadi Whistle Blowing?

    Perilaku whistle blowing berkembang atas beberapa alasan. Pertama, pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja. Kedua, keadaan ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan berpublikasi menuntun whistle blowing sebagai fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian ini (Rothschild & Miethe, 1999).

    Tidaklah mudah untuk memastikan terjadinya whistle blowing. Rothschild & Miethe (1999) mendapatkan informasi yang menarik tentang hal ini. Dengan menngunakan sampel pekerja dewasa di US, ditemukan bahwa 37% dari mereka menemukan tindakan menyimpang di dalam lingkungan kerja mereka dan 62% dari porsi ini melakukan tindakan whistle blowing. Namun hanya 16% yang melaporkan ke pihak eksternal, sisanya hanya melapor kepada pihak internal yang memiliki kuasa lebih tinggi.

    Miceli & Nera (1997) memandang whistle blowing sebagai antisocial OB. Antisocial OB adalah tindakan intens yang bersifat membahayakan yang dilakukan anggota organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi. Untuk perilaku whistle blowing yang diklasifikasikan kedalam golongan ini harus dipastikan tingkat bahaya yang dihasilkan. Perilaku ini sejalan dengan OMB tipe D, yang juga dianggap sebagai aksi balas dendam.

    De George (1986) menetapkan tiga kriteria atas whistle blowing yang adil. Pertama organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas. Kedua, kesalahan harus dilaporkan pertama kali kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, dan ketiga, apabila penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang namun tidak mendapat hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan, maka pelaporan penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik.

    Menurut James (1984), whistle blower dalam for-profit organization akan dikenakan pemutusan kerja. Mereka juga akan masuk dalam blacklist yang tidak mendapat surat rekomendasi. Sementara itu, dalam non-for-profit organization, whistle blower biasanya dipindahkan, diturunkan posisinya, dan tidak akan mendapat promosi.

    Perilaku whistle blowing dapat terjadi sebagai akibat dari penanaman nilai yang kuat atas suatu organisasi, mencakup bagaimana dan apa nilai-nilai serta budaya yang terdapat dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial dan budaya organisasi merupakan pengaruh yang kuat terhadap terjadinya whistle blowing.


3. Apa yang dimaksud dengan Creating Accounting? Jelaskan!

    Creative Accounting adalah semua proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk di dalamnya standar, teknik, dll) dan menggunakannya untuk memanipulasi pelaporan keuangan (Amat, Blake dan Dowd, 1999). Pihak-pihak yang terlibat di dalam proses creative accounting, seperti manajer, akuntan (sepengetahuan saya jarang sekali ditemukan kasus yang melibatkan akuntan dalam proses creative accounting karena profesi ini terikat dengan aturan-aturan profesi), pemerintah, asosiasi industri, dll.

    Creative accounting melibatkan begitu banyak manipulasi, penipuan, penyajian laporan keuangan yang tidak benar, seperti permainan pembukuan (memilih penggunaan metode alokasi, mempercepat atan menunda pengakuan atas suatu transasksi dalam suatu periode ke periode yang lain).

    Watt dan Zimmerman (1986), menjelaskan bahwa manajer dalam bereaksi terhadap pelaporan keuangan digolongkan menjadi 3 buah hipotesis :

     1. Bonus Plan Hyphotesis
Perilaku dari seorang manajer sering kali dipengaruhi dengan pola bonus atas laba yang dihasilkan. Tindakan yang memacu para manajer untuk mealkaukan creative accounting, seringkali dipengaruhi oleh pembagian besaran bonus yang tergantung dengan laba yang akan dihasilkan. Pemilik perusahaan umumnya menetapkan batas bawah, sebagai batas terendah untuk mendapatkan bonus. Dengan teknik seperti ini, para manajer akan berusaha menaikkan laba menuju batas minimal ini. Jika sang pemilik juga menetapkan bats atas atas laba yang dihasilkan, maka manajer akan erusaha mengurangi laba sampai batas atas dan mentransfer data tersebut pada periode yang akan dating. Perilaku ini dilakukan karena jika laba melewati batas atas tersebut, manajer tidak akan mendapatkan bonus lagi.

     2. Debt Convenant Hyphotesis
Merupakan sebuah praktek akuntansi mengenai bagaimana manajer menyikasi perjanjian hutang. Sikap yang diambil oleh manjer atas adanya pelanggaran atas perjanjian hutang yang jatuh tempo, akan berupaya menghindarinya degan memilih kebijakan-kebijakan akuntansi yang menguntungkan dirinya.

     3. Political Cost Hyphotesis
Sebuah tindakan yang bertujuan untuk menampilkan laba perusahan lebih rendah lewat proses akuntansi. Tindakkan ini dipengaruhi oleh jika laba meningkat, maka para karyawan akan melihat kenaikan aba tersebut sebagai acuan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui kenaikan gaji. Pemerintah pun melihat pola kenaikan ini sebagai objek pajak yang akan ditagih.


4. Apa yang dimaksud Fraud Accounting?

  • Definisi Kecurangan Akuntansi

    Menurut Alison (2006) dalam artikel yang berjudul Fraud Auditing mendefinisikan kecurangan (Fraud) sebagai bentuk penipuan yang disengaja dilakukan yang menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Kecurangan umumnya terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut.

  • Karakteristik Kecurangan

    Dilihat dari pelaku fraud maka secara garis besar kecurangan bisa dikelompokkan menjadi dua jenis :

1. Oleh pihak perusahaan, yaitu :
a. Manajemen untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting).
b. Pegawai untuk keuntungan individu, yaitu salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets).

2. Oleh pihak di luar perusahaan, yaitu pelanggan, mitra usaha, dan pihak asing yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.

Salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan

    Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dilakukan karena dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilahirregularities (ketidakberesan).  Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen (management fraud), misalnya berupa : Manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber penyajian laporan keuangan. Kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi penting dari laporan keuangan.

Salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva

    Kecurangan jenis ini biasanya disebut kecurangan karyawan (employee fraud). Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan karena melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut. Contoh salah saji jenis ini adalah :
  • Penggelapan terhadap penerimaan kas.
  • Pencurian aktiva perusahaan.
  • Mark-up harga
  • Transaksi “tidak resmi”


5. Carilah kasus tentang Fraud Accounting?

     Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Pepatah itu kini tengah mengancam industri perbankan syariah. Bagaimana tidak, praktik kecurangan di perbankan yang biasanya terjadi di bank pinggir kota terjadi pada bank syariah skala nasional? Banyak orang yang gelenggeleng kepala akibat kejadian ini bukan cuma karena terjadi di salah satu bank nasional tapi juga di bank syariah.

    Baru-baru ini Bank Syariah Mandiri, harus tertimpa kasus fraud yang boleh dibilang paling primitif yaitu kredit fiktif dengan memalsukan dokumen-dokumen utama. Karena kasus itu, anak usaha bank terbesar di Indonesia itu harus menanggung potensi kerugian yang mencapai Rp102 miliar.

    Manajemen kemudian bergerak cepat dengan mengumumkan kejadian itu kepada publik. Dalam jumpa pers yang dilakukan Kamis pekan terakhir bulan lalu manajemen BSM menyatakan kasus penyaluran kredit fiktif di cabang Bogor memang sengaja dilakukan oleh tiga orang pejabatnya. Indikasi ini ditemukan karena adanya kejanggalan berupa tidak terjadinya pengerjaan proyek pembangunan perumahan sebagaimana yang diajukan oleh debitur, tetapi dana tetap dicairkan dengan lancar. “Ketiganya dengan sengaja tidak mematuhi aturan internal perusahaan,” ujar Sulistio Konsultan Hukum BSM.

     Akibatnya, perusahaan menyalurkan dana kredit sebesar Rp102 miliar kepada 197 nasabah, termasuk nasabah fiktif. Namun sampai sekarang yang baru kembali hanya Rp43 miliar. Sisanya, sebesar Rp59 miliar masih dalam pelacakan.

     BSM telah memecat tiga pejabatnya yang telah terbukti terlibat dalam penyaluran kredit fiktif untuk pembelian lahan dan pembangunan perumahan di kawasan Bogor itu. Tiga pejabat itu adalah Kepala Cabang Utama Bank Syariah Mandiri Bogor, berinisial MA, yang dipecat tertanggal 4 Oktober 2013. Kemudian, Kepala Cabang Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor berinisial HH tercatat dipecat 1 Desember 2012, dan Accounting Officer Bank Syariah Mandiri Bogor, bernisial JL dipecat tanggal 1 November 2012. Perbedaan dalam penjatuhan sanksi pemecatan, ada yang pada 2012 dan 2013 dikarenakan JL dan HH melarikan diri ketika pemeriksaan internal masih berlangsung.
     Tak pelak, kejadian yang terjadi di BSM cabang Bogor itu mencoreng bank tersebut sekaligus industri bank syariah. Bagaimana tidak, citra bank syariah sebagai bank yang tidak hanya taat pada aturan otoritas perbankan tetapi juga otoritas kehidupan ternyata tak cukup menghindari pegawainya berbuat curang.

     Karenanya munculnya risiko reputasi pada perbankan syariah menjadi tak terhindarkan. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder antara lain regulator, nasabah, masyarakat, manajemen bank dan pegawai. Risiko ini bersumber dari persepsi negatif terhadap bank. Di antara risiko yang dihadapi bank, risiko reputasi merupakan risiko yang memiliki dampak paling signifikan dan dapat mempengaruhi keberlangsungan usaha bank.

Modus Kuno

     Sebenarnya apa yang terjadi pada BSM Cabang Bogor tidaklah terlalu istimewa dari sisi modus, bahkan termasuk modus kuno. Kolusi antara orang dalam dan orang luar dalam tindak kejahatan perbankan itu sudah menjadi modus umum. Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto menjelaskan, cairnya kredit perumahan BSM Kantor Cabang Pembantu (KCP) Bogor bermula karena terjadinya pertemuan antara pengusaha properti yang bernama bernisial IP dengan Accounting Officer BSM berinisial JL.

     Awalnya IP hanya berniat mengajukan kredit untuk rumah pribadinya dengan nilai di atas Rp1 miliar kepada BSM melalui JL. Kemudian terjadilah pertemuan antara IP dan JL. IP yang memang sudah lama terjun pada bisnis properti, kemudian menemukan cara untuk mendapatkan dana dari bank tersebut dengan cara curang. Karena keduanya sudah sering bertemu dan berkomunikasi, IP tidak canggung mengutarakan niatnya itu kepada JL. Dan mencoba membujuk JL agar mau bekerjasama untuk merealisasikan niatnya, yaitu membuat kredit fiktif.

     Pihak kepolisian lebih lanjut menjelaskan, memang ada negosiasi antara JL dengan IP sampai-sampai JP mau terlibat mewujudkan niat IP. Supaya rencana bisa berjalan dengan benar-benar mulus, IP terlebih dahulu memberikan hadiah kepada pejabat Bank Syariah Mandiri (BSM) Kantor Cabang Pembantu Bogor. Pemberian inilah yang diduga menjadi pendorong pejabat BSM berani melanggar prosedur penerimaan pengajuan kredit perumahan dengan benar. “Ada yang diberi mobil, ada juga yang mendapatkan uang Rp 3 miliar - Rp 4 miliar,” kata Arief. Setelah itu, diceritakan, aksi ‘merampok’ bank itu pun dimulai.

     IP kemudian mengajukan pembiayaan pada Juli 2011 hingga Mei 2012 dengan menggunakan akad mudharabah. Awalnya pengajuan itu untuk pembelian lahan dan pembangunan perumahan di wilayah Bogor. IP mengajukan 197 nasabah dengan plafon Rp100 juta sampai Rp 300 juta. Dari 197, ada 113 nasabah fiktif. Berarti hanya 84 nasabah yang asli. Ke 113 identitas nasabah fiktif ini seperti KTP, persyaratan administrasi, dan data-data semuanya dipalsukan. Kemudian rata-rata setiap nasabah fiktif dibuat IP mendapat plafon kreditnya sebesar Rp 100 sampai Rp 200 juta. Kredit fiktif yang diajukan IP bisa berjalan mulus tentu karena adanya kerjasama dengan orang dalam.

    Sampai pada akhirnya, manajemen BSM menaruh kecurigaan pada laporan KCP BSM Bogor. Corporate Secretary BSM Taufik Machrus menjelaskan pihaknya mencurigai ada sesuatu yang tidak beres di kantor cabang itu pada 2012. Kemudian kecurigaan tersebut ditindaklanjuti dengan diturunkannya direktorat kepatuhan BSM dan tim audit khusus BSM pusat. Temuan awal sebenarnya bisa dikatakan sederhana. Tim BSM menemukan adanya dugaan penggelembungan nilai kredit (mark up). “Awalnya hanya itu, ketika diteliti lebih dalam semua penyaluran pembiayaan yang ada, ternyata ditemukan penyimpangan. Barulah dilanjuti,” ucap Taufik.

    Dia melanjutkan, setelah yakin adanya tindak pidana, kemudian pihak BSM pusat melapor ke kepolisian pada 12 September 2013. Pihak BSM mengklaim pengaduan yang dilakukan merupakan bagian dari penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG). “Yang pasti pelaporan ini merupakan inisiatif BSM untuk melaporkan, dalam rangka menegakkan GCG,” kata Taufik.

     Dari manajemen pusat BSM memang tidak bisa melakukan penelitian secara langsung kredit yang diajukan nasabah. Karena kredit yang diajukan itu sifatnya perorangan dan nilainya tidak besar, sehingga persetujuan kredit hanya sampai pada tingkat pimpinan BSM Cabang saja.

     Pihak berwajib mengemukakan alasan mengapa tiga pejabat BSM menjadi tersangka. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, seharusnya ketiga pejabat tersebut yang merupakan pimpinan dan mempunyai wewenang dapat menegakan SOP yang sudah berlaku selama ini, tapi yang mereka lakukan malah sebaliknya. Mereka menabrak aturan yang ada dengan tidak melaksanakan ketentuan kredit dan menerima pemberian dari debitur, sehingga pejabat bank tidak melaksanakan secara tepat ketentuan yang sudah ada. Ditambah lagi bekerjasama dalam tindak kejahatan dengan pihak luar.

    Sedangkan IP, sebagai tersangka dari luar BSM yang menjadi otak kredit fiktif ini dan sempat menjadi buron polisi, menampung uang hasil kejahatannya yang sebesar Rp102 miliar ke sejumlah rekening BCA dengan nomor yang berbeda-beda. Setelah dana dicairkan secara bertahap dari BSM, kemudian langsung dimasukkan ke rekening BCA. Puluhan buku rekening BCA atas nama dirinya dan orang lain saat ini sudah disita penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri.

Pengawasan Lemah

    Berulangnya kasus kejahatan perbankan merupakan bukti fungsi pengawasan internal bank dan regulator masih bisa dibobol. Baik itu karena standard operating procedure (SOP) tidak benar-benar berjalan, atau karena ada bagian-bagian tertentu yang tidak dijalani. Bisa jadi juga karena tidak adanya  evaluasi dan monitoring ketika SOP berjalan.

     Sebenarnya bila melihat modus pembobolan yang terjadi di KCP BSM Bogor, tidak perlu terjadi bila manajemen peka dan mulai bisa mendeteksi sedini mungkin, sehingga kerugian tidak membesar. Karena memang bukan modus baru. Tidak jauh berbeda dengan modus-modus pembobolan sebelumnya. ”Harus dilakukan evaluasi terhadap sumber daya manusia ataupun mekanisme pengawasannya,” ujar Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika.

    Ia mencontohkan, di bagian kredit, bisa dibuat aturan yang memungkinkan rotasi SDM lebih sering demi mencegah penyelewengan yang melibatkan kalangan internal. Rotasi SDM akan meminimalisir pihak internal menjalin hubungan erat dengan pihak luar. ”Saya yakin BI lebih mengetahui detail aturan yang dibutuhkan,” tambahnya. Menurutnya, Bank sentral mesti mengambil langkah penegakan hukum yang tegas untuk mencegah kasus-kasus serupa kembali terjadi di masa depan. ”Kalau tidak selesai ya berarti BI gagal, pindah ke OJK, kalau tidak selesai juga, berarti OJK gagal,” ujarnya.

    Sementar itu, Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono berpandangan, kasus fraud di BSM merupakan kesalahan oknum. Kasus tersebut tidak bisa dijadikan sebagai gambaran umum tentang kondisi perbankan saat ini lantaran memang tidak terjadi pada beberapa bank pada waktu yang berdekatan. ”Kasus tersebut menjadi pelajaran bahwa harus ada pengawasan internal yang lebih ketat di setiap bank,” ujarnya.

    Kasus pembobolan BSM seharusnya memang bisa dicegah jika bagian manajemen risiko bank lebih waspada. Kasus-kasus kredit fiktif yang muncul menunjukkan bahwa risiko operasional dengan sistem manajemen risiko dan reguler tidak berjalan. Sigit mengatakan, cabang-cabang besar seharusnya lebih sering diperiksa, bisa setahun dua kali. “Bank juga perlu mewaspadai jika kantor cabang mendadak memiliki nasabah baru dalam jangka waktu relatif pendek,” ucapnya.

    Sementara itu, Konsultan Hukum BSM Sulistio mengungkapkan, kasus kredit fiktif bisa menimpa BSM bukan karena sistem bank yang kurang baik. Menurutnya proses pengucuran pembiayaan di perseroan selama ini cukup ketat. Tetapi tetap saja kebolbolan. ”Memang tidak mungkin ada sistem yang sempurna, tapi kami terus berusaha untuk bisa memiliki sistem yang baik. Terungkapnya indikasi kasus ini justru menandakan early warning system BSM bekerja dengan baik,” ujarnya.

    Sementar itu, deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah mengatakan, regulator masih mempelajari yang terjadi di BSM, dan hingga kini belum berkesimpulan akan memberikan sanksi. “Kalau ada kasus semacam ini akan kita teliti terlebih dahulu,” ujar Halim.

    Oleh karena itu, Halim melanjutkan, bank syariah harus mengetatkan pengawasan. Apalagi BSM adalah berbasis syariah. “Internal audit harus benar-benar dipastikan berjalan. Bank juga harus melakukan perbaikan terus menerus,” tutur Halim.

    Penegasan Halim itu tidaklah terlalu berlebihan mengingat apa yang terjadi di Syariah Mandiri itu bisa jadi muncul pula di bank syariah lain yang pada akhirnya membuat industri perbankan syariah terpapar  risiko reputasi.

    Jika demikian citra bank syariah sebagai lembaga yang aman dan menenangkan menjadi rusak akibat ‘nila yang setitik’ itu.

    Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah mengatakan karena masih dipelajari yang terjadi dengan BSM, BI belum berkesimpulan memberikan sanksi.

    "Secara hukum itu, begini.. Saya nggak bisa ngomong nggak etis. Secara umum kalau ada kasus akan kita teliti," ujar Halim usai “Media Briefing Gerakan Ekonomi Syariah (gres!)” di kantornya, Kamis (31/10/2013.

    Oleh karena itu, Halim menjelaskan bank syariah haruslah mengetatkan pengawasan. Apalagi BSM adalah berbasis syariah. BSM juga diharapkan dapat memperbaiki pengawasan. "Harus ada intern audit yang berjalan. Bank juga harus melakukan perbaikan, maka akan ada efeknya," tutur Halim.

    Modus pembobolan bank dengan modus kredit fiktif di BSM Bogor diduga dilakukan Kepala Cabang Utama BSM Bogor, M Agustinus Masrie yang bekerjasama dengan Kepala Cabang Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor, Chaerulli Hermawan dan Accaounting Officer Bank Syariah Mandiri Bogor John Lopulisa. Mereka berhasil membobol dana nasabah hingga Rp102 miliar.

    Caranya dengan membuat proposal kredit secara fiktif terhadap 197 nasabah dengan potensi kerugian Rp59 miliar. Sementara seorang debitur bernama, Iyan Permana bertugas membuat proposal kredit secara fiktif.

     Mabes Polri sudah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, di antaranya Kepala Cabang Utama Bank Syariah Mandiri Bogor M Agustinus Masrie, Kepala Cabang Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor Chaerulli Hermawan, Accaounting Officer Bank Syariah Mandiri Bogor John Lopulisa, dan Debitur Iyan Permana.

0 komentar: